MENGENAL SYAHRUR DAN TEORI BATASNYA

Posted: Desember 4, 2010 in Pemikiran Modern Timur Tengah

MENGENAL SYAHRUR DAN TEORI BATASNYA

Oleh: Harda Armayant

A. Muqaddimah

Pembaruan menjadi proyek penting bagi sejumlah harakah Islamiyyah (pergerakan umat Islam) saat ini. Semua harakah sepakat dengan pembaruan tersebut, tetapi terjadi perbedaan dalam memandang bagaimana pembaruan tersebut diaplikasikan. Metodologi pembaruan yang digunakan bermacam-macam. Namun, meminjam istiah Luthfi Assyaukanie, secara garis besar gerakan pembaharuan ini bercorak dua aliran: kiri dan kanan. Yang kiri mengembangkan pemikirannya berdasarkan metodologi Barat yang bercorak liberal. Dan yang kanan mengawal pembaruannya dengan mendasarkan pada pemikiran ulama-ulama muslim terdahulu dan turats klasik.

Menarik untuk disimak adalah pembagian Luthfi Assyaukanie tentang dua kelompok pembaharuan ini. Menurutnya, keduanya ternyata bersumber dari satu rahim pemikiran, yakni Muhammad ‘Abduh. Dia (‘Abduh) adalah cikal-bakal gerakan reformis yang ada sekarang ini. Hanya, kecenderungan dikotomis untuk menjadi “kiri” atau “kanan” dalam madzhab ‘Abduh semakin intens. Kelompok kiri penerus ‘Abduh semakin lama semakin kiri (menjadi sekuler), dan kelompok kanan juga terus semakin kanan menjadi fundamentalis.[1]

Di antara kelompok Kiri ‘Abduh ini adalah Jamal al-Din al-Qasimi (1866-1914) dan Thahir al-Jaza`iri (1852-1920) yang berusaha menggalakkan reformasi keagamaan di Syria. Dari rahim pemikiran mereka akhirnya lahir Muhammad Syahrur. Artinya, pemikiran Syahrur adalah berasal dari ‘Abduh juga. Tanpa menghakimi dengan mengkritik atau menyetujui pemikiran Syahrur, tulisan ini sebatas ingin memperkenalkan Syahrur dengan Nazoriyyat al-Hudud (Teori Batas) nya yang mengundang banyak respon pro dan kontra dari kalangan umat Islam sendiri.

B. Biografi Singkat Syahrur

Muhammad Syahrur adalah pemikir liberal (Muslim Kiri) asal Damaskus, Syria. Ia dilahirkan di perempatan Salihiyyah, Damaskus pada tanggal 11 April 1938 di Damaskus, Syria. Ia merupakan anak kelima dari seorang tukang celup yang bernama Daib. Sedangkan ibunya bernama Siddîqah binti Shâleh Filyun. Ia menikah dengan ‘Azizah dan dikarunia lima orang anak yaitu Thâriq (beristrikan Rihâb), al-Laits (beristrikan Olga), Rima (bersuamikan Luis), sedangkan yang dua lagi adalah Basil, dan Mashun. Adapun dua cucunya bernama Muhammad dan Kinan. Perhatian dan kasih sayang Syahrur kepada keluarganya begitu besar. Hal ini terbukti dengan selalu menyebutkan nama-nama mereka dalam persembahan karya-karyanya. Selain itu, juga tampak dalam penyelenggaraan pernikahan anak perempuanya, Rima, yang dirayakan dengan mengundang para tokoh-tokoh agama dan bahkan tokoh politik dari partai Bath, partai paling berpengaruh di Syiria saat ini.[2]

Sejak muda belia, Syahrur terkenal dengan anak yang cerdas dan cemerlang. Hal ini paling tidak dapat dibuktikan dari proses pendidikannya yang lancar dan tidak menghadapi gendala sedikitpun. Jenjang pendidikan Syahrur sebagaimana anak-anak lainnya diawali dari madrasah Ibtidaiyah, I‘dadiyah (sederajat SLTP/Tsanawiyah) dan Tsanawiyah (sederajat SMU/Aliyah) di Damaskus. Dalam usianya yang ke-19, Syahrur memperoleh ijazah Tsanawiyah dari madrasah Abdurrahman al-Kawakibi pada tahun 1957 M.[3] Namun, sekolah-sekolah ini bukan sekolah keagamaan. Dengan kata lain, ia tidak mengenyam pendidikan agama yang cukup di masa kecil dan remajanya.

Kecerdasanya terbukti dengan mendapatkan beasiswa dari pemerintah Syiria ke Moskow, Rusia untuk melanjutkan kuliah di bidang Teknik Sipil (al-handasah al-madaniyyah) pada Maret 1957. Jenjang pendidikan ini ditempuhnya selama lima tahun mulai 1959 hingga berhasil meraih gelar Diploma (S1) pada tahun 1964. Kemudian kembali ke negara asalnya mengabdikan diri pada Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus hingga tahun 1965. Dalam waktu yang tidak lama, Universitas Damaskus mengutusnya ke Dublin Irlandia tepatnya di Ireland National University (al-Jami‘ah al-Qaumiyah al-Irilandiyah) guna melanjutkan studinya pada jenjang Magister dan Doktoral dalam bidang yang sama dengan spesialisasi Mekanika Pertanahan dan Fondasi (Mikanika Turbat wa Asasat). Pada tahun 1969 Syahrûr meraih gelar Master dan tiga tahun kemudian, tahun 1972, beliau behasil menyelesaikan program Doktoralnya. Pada tahun yang sama ia diangkat secara resmi menjadi dosen Fakultas Teknik Sipil Universitas Damaskus dan mengampu mata kuliah Mekanika Pertanahan dan Geologi (Mikanika at-Turbât wa al-Mansya’ât al-Ardhiyyah).[4] Perlu diketahui Syahrur tidak bergabung dengan institusi Islam manapun, dan ia juga tidak pernah menempuh pelatihan resmi atau memperoleh sertifikat dalam ilmu-ilmu ke-Islaman.[5]

Dari karya yang pernah ditulisnya diantaranya, Al-Kitāb wa Al-Qur’ān–Qirā’ah Mu’āshirah (1990), Al-Daulah wa al-Mujtama’(1994), Al-Islām wa al-Īmān–Manzhūmah al-Qiyam-(1996), Nahw Ushūl al-Jadīdah Li al-Fiqh al-Islāmy (2000), dan Tajfīf Manābi’ al-Irhāb (2008). Dari beberapa karyanya tersebut yang paling mendapatkan perhatian yakni Al-Kitāb wa Al-Qur’ān –Qirā’ah Mu’āshirah (Tela’ah Kontemporer Al Kitab dan Al-Quran) dan Nahw Ushūl al-Jadīdah Li al-Fiqh al-Islāmy (Metodologi Fiqih Islam Kontemporer). Karya monumentalnya, Al Kitab wa Al Qur’an, Qira’ah Mu’ashirah (Tela’ah Kontemporer Al Kitab dan Al-Quran) merupakan karya terbesarnya.[6] Namun tulisannya ini sudah dibantah 15 buku pada waktu singkat setelah terbitnya di Damaskus pada tahun 90-an.

Sebenarnya, melihat latar belakang pendidikan Syahrur seperti dijelaskan sebelumnya, menunjukan bahwa Syahrur bukan seorang mufassir (pakar tafsir), ahli fikih dan ushul fikih, ataupun bahasa. Meskipun demikian, ia sering melibatkan dirinya dalam isu-isu liberalisasi syari’at dan dekonstruksi tafsir al-Qur’an. Beberapa hukum Islam dan kaidah ilmu tafsir dan ushul fikih didekonstruksinya dengan berbekal ilmu teknik dan mengandalkan asal-usul keArabannya. Latar belakang lingkungan, baik pendidikan dan pergaulannya, juga mempengaruhi cara berpikir dalam karya-karyanya.

C. Konsep Pembaruan Hukum: Antara al-Qur’an, al-Kitab, dan Umm al-Kitab

Dalam melakukan pembaruan interpretasi dalam studi al-Qur’an, Syahrur menggunakan pendekatan hermeneutika dengan penekanan pada aspek filologi (fiqh al-lughah).[7] Di mana prinsip yang ia gunakan adalah keyakinannya kepada anti sinonimitas (ketidaksamaan) istilah dalam al-Qur’an. Sebagaimana jelas terlihat dalam karyanya Al-Kitab wa Al-Qur’an, ia menggunakan metode klasifikasi istilah yang menjadi bahan awal teori interpretasinya. Al-Kitab terbagi kepada al-Qur’an dan Umm al-Kitab.

Al-Kitab ia gunakan untuk istilah umum yang mencakup pengertian seluruh kandungan teks tertulis (mushaf), yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri surat al-Naas. Sementara Al-Qur’an adalah istilah khusus yang hanya mencakup salah satu bagian dari al-Kitab yang terdiri dari ayat-ayat mutasyabihat yang berdimensi al-nubuwwah dan bersifat istiqamah yang berarti garis lurus, tetap, tidak berubah yang di dalamnya terkandung kumpulan informasi dan pengetahuan tentang kealaman dan kesejarahan yang dengan itu dapat dibedakan antara benar dan salah yang terdapat di alam wujud (realitas empiris). Jadi al-Qur’an yang berdimensi Nubuwwah bersifat objektif di mana ia berisi kumpulan aturan hukum yang berlaku di alam semesta dan berada di luar kesadaran manusia.

Sementara Umm al-Kitab merupakan salah satu bagian dari al-Kitab yang terdiri dari ayat-ayat muhkamat yang berdimensi al-risalah dan bersifat hanifiyyah yang berarti penyimpangan dari garis lurus, tidak tetap, berubah, dan elastis. Di dalamnya terkandung kumpulan ajaran yang wajib dipatuhi manusia berupa ibadah, mu’amalah, akhlak, dan hukum halal haram. Risalah bersifat subjektif yang berarti kumpulan aturan hukum yang harus dijadikan sebagai bagian dari kesadaran dalam diri manusia di dalam berprilaku.[8] Ia juga melakukan pembedaan terhadap sejumlah pasangan atau kelompok istilah, antara lain antara inzal/tanzil, furqan/qur’an, imam mubin/kitab mubin, ummul kitab/lauh al-mahfuzh, qada/qadar, zaman/waqt, mu’min/muslim, uluhiyyah/rububiyyah, dan manna/salwa. Semuanya didefinisikan secara terpisah.[9]

Maka proyek hermeneutika Syahrur dari klasifikasi istilah tersebut, membuahkan rumusan dalam menginterpretasi ayat-ayat hukum dengan memaparkan tiga teori filsafat. Pertama, al-kaynunah (kondisi berada, dasein, being). Kedua, al-sayrurah (kondisi berproses, der prozess, the process). Ketiga, al-Shairurah (kondisi menjadi, das warden, becoming). Ia menyatakan, “Ketiga kata kerja (istilah) itu selalu menjadi pusat pembahasan dalam filsafat dan landasan inti bagi semua pembahasan teologis (Tuhan), naturalistik (alam), dan antropologis (manusia), dengan memandang bahwa kaynunah atau being adalah awal dari sesuatu yang ada, sayrurah (proses) adalah gerak perjalanan masa, dan shairurah (menjadi) adalah sesuatu yang menjadi tujuan bagi keberadaan pertama setelah melalui fase berproses.”[10]

Keniscayaan antara tiga kondisi tersebut menunjukan bahwa tidak ada kondisi yang tidak terkait dengan kondisi lainnya. Maka dengan sendirinya, dengan relasi ketiga kondisi ini, dalam hubungannya dengan ayat-ayat hukum, akan melahirkan hukum yang akan terus berubah-ubah mengikuti perkembangan masa ke masa. Dengan kata lain, yang menjadi pijakan hukum adalah kondisi khusus yang terbatasi dalam setting sosial, bukan nash yang ada dalam ayat tersurat dalam al-Qur’an. Syahrur menyebut kondisi perubahan hukum ini dengan hukum dialektika negatif (qānūn al-nafy wa nafy al-nafy; hukum negasi dan penegasian negasi) atau disebut juga dengan dialektika internal.[11] Ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an, yang dalam bahasa Syahrur sebagai Umm al-Kitab, walaupun sifatnya qath’i dan dipahami secara dzahir dan maknanya dengan jelas akan pula terjadi penegasian hukum melalui proses waktu yang berputar, dan menghasilkan hukum baru sesuai dengan kondisi dan situasi sosial zamannya yang menyebabkan keniscayaan penafsiran yang relatif.[12]

Pandangan Syahrur dalam pengklasifikasian al-Kitab kepada al-Qur’ān bersifat tetap, tidak bisa berubah teks atau maknanya, dan tidak ada ijtihad dalam ranah tersebut. Tetapi dalam konteks Umm al-Kitāb, ijtihad tersebut terbuka lebar, meskipun kejelasan nash dzahir didapat (qath’i). Dengan konsep itu, Syahrur secara blak-blakan telah mendekonstruksi konsep ijtihad yang dipahami para ulama. Dia menyatakan bahwa, “ijtihad hanya terdapat pada teks suci”. Adapun kaidah yang mengatakan, tidak (diperkenankan) berijtihad tentang sesuatu yang telah disebutkan dalam teks, tidak kami terima. Seandainya ada seseorang yang mengatakan: ”Berijtihadlah (tentang sesuatu) yang berada di luar teks al-Qur’an (atau hadits)!, maka saya akan mengatakan: Mengapa saya harus berijtihad ketika tidak didapati satu teks (ayat) pun dalam al-Qur’an (atau hadits)? Ketika tidak adanya teks, seorang penetap hukum diperkenankan menetapkan hukum sesukanya.” Lebih lanjut dia menyatakan bahwa ketepatan ijtihad ditentukan oleh kesesuaiannya dengan realitas. Jadi hasil sebuah ijtihad bisa dipandang benar dan diterima jika seiring dengan realitas objektif pada saat melakukan pembacaan historis. Pemahaman dan keserasian dengan realitas objektif merupakan tolak ukur seberapa jauh penafsiran atau pembacaan hermeneutika itu benar atau salah.[13]

Al-Sunnah al-Nabawiyyah, baik mutawatir atau ahad, yang disebutkan dalam semua kitab hadits maupun yang hanya satu kitab hadits, dia katakan, bukan sebagai wahyu kedua,[14] melainkan hanya pemahaman awal terhadap ayat-ayat ahkam dalam al-Qur’an (dalam istilah Syahrur: al-Tanzil al-Hakim), yang berarti pemahaman Nabi saw. tersebut bersifat relatif dan terbatas sesuai dengan kondisi saat itu. Keputusan hukum akan senantiasa berubah sesuai dengan perubahan ruang dan waktu.[15] Ia juga menuduh ulama dan mufassir yang mempunyai pandangan bahwa sabda Rasul saw. termasuk hadits Nabi semata-mata wahyu Allah adalah pandangan yang tidak memiliki argumentasi.[16] Bahkan dengan kasar ia menuduh orang-orang yang meyakini hadits Nabi sebagai wahyu adalah orang-orang yang menyekutukan Allah swt.[17]

Di sisi lain pengingkarannya terhadap hadits/sunnah dikarenakan di dalam hadits terdapat bahasan mengenai hal-hal ghaib. Ia beralasan, bahwa hal-hal ghaib hanya tercantum dalam al-Qur’an saja. Ia mengatakan, “Saya tidak beriman kepada hadits Nabi, Allah berfirman, ‘Taatlah kalian kepada rasul..’. Maka ketaatan hanya kepada rasul, bukan kepada Nabi. Dan hadits-hadits Nabi adalah hal-hal ghaib, seperti adzab, gambaran kiamat, alam barzakh. Ini semua adalah kenabian, dan rasul tidak mengetahui hal yang ghaib. Cukuplah bagi kita perkara-perkara yang ghaib yang ada dalam al-Qur’an.”[18]

Sumber hukum Islam lainnya seperti ijma’ pun didekonstruksi, bukan sebagai kesepakatan para sahabat dan ‘Ulama. Bahkan meragukan akan keadilan dan konsensus (ijma’) sahabat. Ia mengatakan, “Kitabullah sudah cukup, tidak perlu hal lain untuk memahaminya, kuncinya ada di dalam, bukan di luar. Maka kita tidak perlu Abu Hurairah, tidak perlu Ibn ‘Abbas.”[19] Ia mendefinisikan ijma’ sebagai kesepakatan orang-orang yang semasa masih hidup di majlis-majlis perwakilan rakyat dan parlemen-parlemen. Orang-orang yang masih hidup dan bersepakat atas masalah penting bagi mereka dalam lingkup perjalanan sejarah yang mereka alami adalah orang-orang yang mampu memahami dan mengatasi problem-problem mereka. Mereka tidak membutuhkan para sahabat, tabi’in, dan para ulama besar terdahulu.

Ia pun menggugurkan konsep qiyas, yang dikatakannya mengacu dan membawa masalah ke masa lampau serta tidak berarti sama sekali. Karena menurutnya, dia berulang kali katakan, bahwa penerapan hukum pada alam realitas adalah aplikasi relatif-historis. Prinsip yang ia gunakan hanya akal pikiran dengan realitas objektif. Pengertian qiyas menurutnya, yakni “mengemukakan dalil-dalil dan bukti-bukti atas kesesuaian ijtihad tentang hal-hal yang dinashkan oleh al-Qur’an dengan kenyataan hidup secara objektif.[20]

D. Teori Batas Syahrur dan Implementasinya terhadap Hukum Islam

Buah dari penelitian yang dilakunya di atas adalah lahirnya sebuah teori yang aplikatif, yakni nazhariyyah al-hudud (limit theory/teori batas). Teori batasnya terdiri dari batas bawah (al-hadd al-adna/minimal) dan batas atas (al-hadd al-a’la/maksimal). Terdapat enam bentuk aplikatif teori batas ini dalam kajian terhadap ayat-ayat hukum, yakni:

  1. Pertama, yang hanya memiliki batas bawah. Hal ini berlaku pada perempuan yang boleh dinikahi (QS. [4]: 22-23), jenis makanan yang diharamkan (QS. [5]: 3), [6]: 145-156), hutang piutang {QS. [2]: 283-284), dan pakaian wanita (QS. [4]: 31).
  2. Kedua, yang hanya memiliki batas atas. Berlaku pada tindak pidana pencurian (QS. [5]: 38) dan pembunuhan (QS. [17]: 33, [2]: 178, [4]: 92).
  3. Ketiga, yang memiliki batas atas dan bawah sekaligus. Berlaku pada hukum waris (QS. [4]: 11-14, 176) dan poligami (QS. [4]: 3).
  4. Keempat, ketentuan batas bawah dan atas berada pada satu titik atau tidak ada alternatif lain dan tidak boleh kurang atau lebih. Berlaku pada hukum zina dengan seratus kali cambuk (QS. [24]: 2).
  5. Kelima, ketentuan yang memiliki batas bawah dan atas sekaligus, tetapi keduanya tidak boleh disentuh, jika menyentuhnya berarti telah melanggar aturan Tuhan. Berlaku pada hubungan laki-laki dan perempuan. Jika antara laki-laki dan perempuan melakukan perbuatan mendekati zina tetapi belum berzina, maka keduanya belum terjatuh pada batas-batas hudud Allah.
  6. Keenam, yang memiliki batas atas dan bawah, di mana batas atasnya bernilai positif dan tidak boleh dilampaui. Sedang batas bawahnya bernilai negatif dan boleh dilampaui. Berlaku pada hubungan kebendaan sesama manusia. Batas atas yang bernilai positif berupa riba, sementara batas bawahnya bernilai negatif berupa zakat.[21]

Keenam bentuk teori batas yang dibuat Syahrur di atas berdampak pada istinbath hukum Islam. Kita ambil contoh dari teori hudud pertama yang hanya memiliki batas bawah, yakni mengenai pakaian dan aurat wanita. Ketika menafsirkan QS. [24]: 31, “Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita”. Menurut Syahrur aurat adalah apa yang membuat seseorang malu apabila terlihat, dan aurat tidak berkaitan dengan halal haram, baik dari dekat maupun jauh. Ia membuat contoh, “Apabila ada orang yang botak dan tidak suka orang melihat kepalanya yang botak, maka dia akan memakai rambut palsu, sebab ia menganggap botak kepalanya sebagai aurat.” Kemudian ia mengutip hadits Nabi, “Barang siapa menutupi aurat mukmin, niscaya Allah akan menutupi auratnya.” Dia berkomentar, menutupi aurat mukmin dalam hadits itu, bukan berarti meletakkan baju padanya agar tidak terlihat. Lantas ia menyimpulkan bahwa aurat berangkat dari rasa malu, yakni ketidaksukaan seseorang ketika terlihatnya sesuatu, baik dari tubuhnya maupun perilakunya. Sedang malu menurutnya relatif, berubah-ubah sesuai dengan adat istiadat, zaman, dan tempat.[22]

Maka ketika ada ayat yang menyuruh memakai jilbab dalam QS. [33]: 59,

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.”

Dia menafsirkan bahwa ayat di atas berbentuk pengajaran, bukan syari’at, dan turun di Madinah yang menunjukan mesti dipahami secara temporal dengan tujuan keamanan dari dua gangguan, yakni gangguan alam atau cuaca dan sosial yang menyesuaikan dengan tradisi setempat sehingga tidak mengundang cemoohan.[23] Maka kesimpulan Syahrur untuk jilbab mempunyai batasan maksimal dan minimal. Batasan maksimalnya yaitu dengan menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, sedang batasan minimalnya adalah yang hanya menutupi juyūb yang menurutnya meliputi belahan dada, bagian tubuh dibawah ketiak, kemaluan, dan pantat. Selain itu tidak termasuk aurat dan hanya menyesuaikan dengan tradisi masyarakat saja.[24]

Kemudian ia menafsirkan ayat, “Janganlah mereka memperlihatkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya”. Bahwa perhiasan wanita ada dua, yakni perhiasan benda dan perhiasan tempat.[25] Perhiasan benda contohnya pakaian dan aksesorisnya, sedang perhiasan tempat adalah seluruh tubuh perempuan yang lazim terlihat seperti perut, punggung, kepala, dan kaki. Maka seluruh bagian tubuh ini boleh terbuka berdasar ayat tadi. Sedang yang tersembunyi adalah al-juyub (kemaluan, pantat, ketiak, dan payudara). Dengan kata lain, seorang perempuan yang hanya mengenakan pakaian dalam saja keluar rumah, tidak dipandang melanggar ketentuan Allah. Atau yang menampakkan tindik di perutnya juga tidak apa-apa.

Lebih dari itu, ia menyatakan bahwa aurat vital wanita (ketiak, payudara, dan kemaluan) boleh diperlihatkan kepada tujuh golongan lelaki yang disebutkan dalam QS. [24]: 31, yaitu saudara, bapak, anak saudara perempuan, anak saudara laki-laki, orang tua istri dan anaknya. Pendapatnya menyatakan seorang muslimah boleh telanjang bulat di depan lelaki tersebut. Ia mengatakan, “Jika orang tua melihat anak perempuannya telanjang bulat, maka tidak dikatakan bahwa hal itu haram, namun hanya aib saja.”[26] Bahkan Ia mengatakan bahwa hubungan remaja lawan jenis tanpa didasari pernikahan, alias kumpul kebo sebagai sesuatu yang “halal”. Syahrur mengatakan bahwa apa yang dilakukan para remaja itu, jika hal itu sesuai dengan kemauan mereka, tanpa akad, atau tanpa didampingi seorang syekh atau tanpa mendapat izin, maka hal itu halal. Ia menyatakan, “Bacalah Kitabullah, jangan takut kepadanya, kamu semua bisa melakukan itu tanpa perantara dan tanpa guru, dan pergaulan bebas halal, dengan syarat ada persetujuan diantara kedua pihak,” ujarnya. Ia juga menyatakan, bahwa pergaulan bebas antara seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah ganti atas pernikahan, dan tanpa akad tertulis, adalah “halal, secara syar’i.”[27]

Kemudian contoh teori hudud kedua, yang hanya memiliki batas atas, mengenai ayat potong tangan bagi pencuri. Syahrur menilai kata kata qata’a bisa berarti pemotongan secara fisik maupun non fisik. Hal ini dengan melihat dasar kata qata’a yang ternyata memililki banyak arti dan tidak semua arti mengacu pada pemotongan fisik. Selain itu dalam Al-quran pun tidak semua kata-kata qata’a bermakna pemotongan secara fisik. Contoh Qata’a yang berarti pemotongan secara fisik terdapat pada QS Al-Maidah: 33,[28] sedangkan yang berarti bukan pemotongan secara fisik terdapat pada QS. Ali-Imran: 127,[29] QS. Al-anfal : 7,[30] QS. Al-Baqarah : 27.[31]

Dari sanalah Syahrur mengambil kesimpulan bahwa kata-kata qata’a dalam konteks pencurian bisa diartikan sebagai pemotongan secara fisik maupun non fisik. Dengan melihat maslahah antara pemotongan fisik dan non fisik, Shahrour menilai bahwa pemotongan fisik pada ayat tersebut merupakan hukum maksimal (batas atas) yang bisa ditetapkan, sedangkan pemotongan non fisik misalnya memasukkannya ke dalam penjara. Artinya pada ayat ini berlaku konsep hudud al-a’la dan ruang ijtihad manusia ada di bawah hudud al-a’la tersebut.

Kemudian contoh teori ketiga, yang memiliki batas atas dan bawah sekaligus. Maksudnya, batas minimum dan maksimum telah ditetapkan al-Quran, adapun ijtihad posisinya ada di antara kedua batas minimum dan maksimum tersebut. Contoh: QS. An Nisa : 11, tentang Pembagian Warisan. Batas maksimum laki-laki adalah 2x perempuan, sedangkan batas minimum perempuan adalah 0.5 dari laki-laki. Ijtihad bergerak di antara dua batas maksimum dan minimum tersebut dengan melihat berbagai aspek yang ada.

Mengenai poligami Syahrur sangat ketat membatasinya. Dengan Teori Batasnya ada dua pembatasan istilah penting yaitu pembatasan pada kuantitas (al- Had al-Kamy), yakni berjumlah empat istri, dan pembatasan pada kualitas (al-Had al-Kalfy), yakni istri kedua, ketiga, dan keempat adalah janda yang memiliki anak.

Syahrur membolehkan poligami dalam dua kondisi, yaitu pertama, istri kedua, ketiga, dan keempat adalah janda-janda beranak yang suaminya meninggalkannya. Kedua, suami harus memiliki perasaan gelisah bahwa dia tak akan dapat berbuat adil kepada anak-anaknya. Jika kedua syarat di atas tidak terpenuhi, poligami akan gagal. Artinya, calon istri harus janda bukan perawan dan harus mempunyai anak, juga calon suami harus bersikap adil dalam segala aspek. Terutama aspek sosial kehidupan/kemasyarakatan.[32] Syahrur menerapkan dua kondisi ini berdasarkan struktur norma bahasa dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 4.

Syahrur mengambil dua syarat tersebut berdasarkan “struktur kaidah bahasa” dalam firman Allah “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga atau empat.” Syahrur juga melihat bahwa betapa Allah memuliakan seorang janda dengan menggunakan kata-kata yang halus “ma thoba lakum” (perempuan-perempuan yang kamu senangi) bukan “mashi’tum min an-nisa” ini merupakan salah satu penghormatan terhadap perkawinan.[33]

Mengenai hukum pelaku zina yang termasuk pada Teori Batas keempat yakni ketentuan batas bawah dan atas berada pada satu titik atau tidak ada alternatif lain dan tidak boleh kurang atau lebih. Maksudnya ketentuan batas maksimum juga menjadi batas minimum, sehingga ijtihad tidak memungkinkan untuk mengambil hukum yang lebih berat dan yang lebih ringan. Contoh: QS. An-Nur: 2, tentang hukuman perzinahan. Dalam ayat tersebut hukuman untuk pelaku zina merupakan had maksimum dan minimum sekaligus, karena dalam ayat tersebut ada perintah untuk tidak “ra’fah”, yang berarti tidak ada keringanan.

Selanjutnya mengenai Teori Batas kelima, yakni ketentuan yang memiliki batas bawah dan atas sekaligus, tetapi keduanya tidak boleh disentuh, jika menyentuhnya berarti telah melanggar aturan Tuhan. Berlaku pada hubungan laki-laki dan perempuan. Jika antara laki-laki dan perempuan melakukan perbuatan mendekati zina tetapi belum berzina,[34] maka keduanya belum terjatuh pada batas-batas hudud Allah.

Terakhir, yang memiliki batas atas dan bawah, di mana batas atasnya bernilai positif dan tidak boleh dilampaui. Sedang batas bawahnya bernilai negatif dan boleh dilampaui. Berlaku pada hubungan kebendaan sesama manusia. Batas atas yang bernilai positif berupa riba, sementara batas bawahnya bernilai negatif berupa zakat. Had atas yang tidak boleh dilampaui adalah riba, had bawah yang boleh dilewati adalah zakat (zakat sebagai batas negatif karena zakat merupakan batas minimal harta yang wajib dikeluarkan). Dalam hal ini zakat dapat dilampaui oleh shadaqah, sedangkan riba tidak boleh dilewati karena merupakan batas atas yang tidak boleh dilewati.

Syahrur menyimpulkan adanya tiga kondisi menyangkut riba. Pertama, berdasarkan Q.S. al-Taubah: 60, fakir dan miskin termasuk golongan orang yang berhak menerima zakat. Menurutnya miskin adalah orang yang menurut kondisi sosial dan ekonomi yang ada, tidak mampu menutup hutangnya. Terhadap orang dengan kondisi demikian, berlaku ayat: “Allah akan hapuskan (berkah) riba dan tumbuhkembangkan sedekah” (al-Baqarah: 276), di samping juga ayat-ayat lain yang berisi kecaman keras terhadap praktik riba (al-Baqarah: 275, 278, dan 279). Oleh karena itu, harta yang disalurkan kepada mereka pada prinsipnya bukan dalam bentuk kredit, tetapi dalam bentuk hibah, dan pahalanya terserah kepada Allah. Kedua, terhadap orang yang hanya mampu menutup hutang pokoknya dan tidak mampu membayar bunga, maka diberikan pinjaman yang bebas bunga (al-qard al-hasan). Di sini berlaku ayat 279 al-Baqarah yang menyatakan bahwa hanya harta pokok yang boleh diminta. Kendati demikian, karena orang ini tergolong orang yang berhak menerima sedekah, maka akan lebih utama jika pihak kreditur mau mem-bebaskan piutangnya. Ketiga, terhadap para pengusaha yang notabene bukan berkategori penerima zakat, kredit yang diberikan dapat dipungut bunganya dengan ketentuan besarnya tidak boleh melampaui batas yang telah ditentukan. Batas atasnya adalah jumlah beban bunga yang harus dibayar sama dengan jumlah hutang pokoknya. Hal ini berdasarkan ayat: “Hai orang-orang mu’min jangan makan riba yang berlipat ganda” (Al ‘Imran: 130).[35]

Atas dasar pandangannya tentang riba dengan berbagai kondisi objektif yang melingkupinya sebagaimana disebutkan di atas, Syahrur mengajukan tiga prinsip dasar sistem bank Islam, yaitu: 1) Mereka yang berhak menerima zakat tidak diberikan kredit, melainkah diberi hibah (sedekah); 2) Dalam kondisi tertentu dibuka kemungkinan untuk memberikan kredit yang bebas bunga, yakni bagi mereka yang pantas diberi sedekah; 3) Dalam bank Islam tidak boleh ada kredit yang tempo pembayarannya tidak dibatasi hingga beban bunga yang harus dibayar lebih besar daripada hutang pokoknya. Jika hal ini terjadi juga, maka pihak debitur berhak menolak untuk membayar bunga yang melebihi batas tersebut.[36]

Demikianlah teori yang dikemukakan Syahrur tentang riba. Dapat disimpulkan bahwa menurutnya, bunga adalah riba, namun ia boleh dipungut asal memperhatikan kondisi objektif pihak debitur. Debitur dari kalangan anggota masyarakat yang termasuk dalam kategori mustahiq zakat dan sedekah, termasuk orang yang hanya mampu membayar hutang pokok, tidak boleh dipungut riba, bahkan sebagian dari mereka hendaknya tidak diberi kredit, melainkan hibah. Selain dari kalangan mereka, riba boleh dipungut, tetapi tidak boleh melebihi batas atas yang telah ditentukan, yakni melebihi harga barang.

Adapun mengenai zakat, yang merupakan batas bawah dan boleh dilewati, Syahrur mengkonsep bahwa hukum membayar zakat adalah wajib bagi yang mampu. Tapi kadar zakat itu sendiri susuai kemampuan dan keikhlasan, artinya tidak harus 2,5%. Karena di dalam al-Qur’an tidak satu pun ayat yang menentukan jumlah zakat yang harus dikeluarkan seseorang. Ini dikarenakan zakat merupakan batas minimal dari pemberian yang diwajibkan dalam Islam atau minimal dari kewajiban bershadaqah. Karena itu, ketika Allah swt mengawali ayat al Qur’an mengenai kewajiban zakat memakai lafadz “inama al-shadaqaatu”. Redaksi ini dapat dipahami bahwa zakat merupakan salah satu bentuk shadaqah. Karena itu term shadaqah merupakan kata umum yang juga mencakup shadaqah. Maka batas kadar zakat dapat dilampaui oleh shadaqoh.

E. Tanggapan terhadap Pemikiran Syahrur

Syahrur menegaskan bahwa al-Qur’an memuat konsep dan prinsip dialektikal paradoksal dan kata al-Qur’an sendiri berasal dari qara-a dan istiqrā yang berarti eksplorasi teori Marxisme. Ia mengatakan, “Saya menamakan ayat-ayat nubuwwah sebagai al-Qur’an karena berasal dari kata istiqrā (eksplorasi). Dengan al-Qur’an kita dapat mengeksplorasi teori ilmiah tentang materi dan sejarah (materialisme dialektis dan materialisme historis).” Dari sini bisa dilihat, bagaimana kekacauannya menarik kesimpulan bahwa kata al-Qur’an berasal dari istiqrā. Bagaimana mungkin mashdar mujarrad merupakan derivasi dari mashdar mazīd.

Penafsiran subjektif lainnya yang bernada ideologi Marxis Syahrur yang menyimpulkan adanya perubahan tafsir mengikuti ruang dan tempat berdasar klasifikasinya tentang al-Kitab kepada al-hanafiyyah (gerak berubah) dan al-istiqāmah (lurus tetap) yang memiliki relasi dialektis. Padahal kata hanif dan istiqamah adalah sinonim yang berarti lurus, ketetapan, dan tidak ada penyimpangan. Ini bisa dibuktikan dari ayat-ayat al-Qur’an yang mengartikan hanif sebagai antonim dari al-syirk, ini juga dijelaskan dalam kamus-kamus bahasa arab.[37] Artinya, kata hanif berarti juga istiqomah.

Dengan kerancuan pemahamannya tersebut akhirnya berimbas pada penafsirannya juga terhadap ayat-ayat hukum al-Qur’an. Maka keganjilan dan kerancuan teori dialektis dan materialis sosial historis meruntuhkan teori batasnya (nazariyyah al-hudūd). Untuk lebih jelas melihat kekacauan pemikirannya dalam teori batas kita ambil contoh teori mengenai pakaian dan aurat wanita. Ketika menafsirkan QS. [24]: 31, “Atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita”. Syahrur mengartikan aurat dengan apa yang membuat seseorang malu apabila terlihat dan aurat tidak berkaitan dengan halal haram, baik dari dekat maupun jauh. Ia membuat contoh, “Apabila ada orang yang botak dan tidak suka orang melihat kepalanya yang botak, maka dia akan memakai rambut palsu, sebab ia menganggap botak kepalanya sebagai aurat.” Kemudian ia mengutip hadits Nabi, “Barang siapa menutupi aurat mukmin, niscaya Allah akan menutupi auratnya.” Dia berkomentar, menutupi aurat mukmin dalam hadits itu, bukan berarti meletakkan baju padanya agar tidak terlihat. Maka ia menyimpulkan bahwa aurat berangkat dari rasa malu, yakni ketidaksukaan seseorang ketika terlihatnya sesuatu, baik dari tubuhnya maupun perilakunya. Sedang malu menurutnya relatif, berubah-ubah sesuai dengan adat istiadat, zaman, dan tempat.[38]

Maka ketika ada ayat yang menyuruh memakai jilbab dalam QS. [33]: 59,

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, ‘hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.”

Dia menafsirkan bahwa ayat di atas berbentuk pengajaran, bukan syari’at, dan turun di Madinah yang menunjukan mesti dipahami secara temporal dengan tujuan keamanan dari dua gangguan, yakni gangguan alam atau cuaca dan sosial yang menyesuaikan dengan tradisi setempat sehingga tidak mengundang cemoohan.[39] Maka kesimpulan Syahrur untuk jilbab mempunyai batasan maksimal dan minimal. Batasan maksimalnya yaitu dengan menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan, sedang batasan minimalnya adalah yang hanya menutupi juyūb yang menurutnya meliputi belahan dada, bagian tubuh dibawah ketiak, kemaluan, dan pantat. Selain itu tidak termasuk aurat dan hanya menyesuaikan dengan tradisi masyarakat saja.[40]

Kemudian ia menafsirkan ayat, “Janganlah mereka memperlihatkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya”. Bahwa perhiasan wanita ada dua, yakni perhiasan benda dan perhiasan tempat.[41] Perhiasan benda contohnya pakaian dan aksesorisnya, sedang perhiasan tempat adalah seluruh tubuh perempuan yang lazim terlihat seperti perut, punggung, kepala, dan kaki. Maka seluruh bagian tubuh ini boleh terbuka berdasar ayat tadi. Sedang yang tersembunyi adalah al-juyūb (kemaluan, pantat, ketiak, dan payudara). Dengan kata lain, seorang perempuan yang hanya mengenakan pakaian dalam saja keluar rumah, tidak dipandang melanggar ketentuan Allah.

Lebih dari itu, ia menyatakan bahwa aurat vital wanita (ketiak, payudara, dan kemaluan) boleh diperlihatkan kepada tujuh golongan lelaki yang disebutkan dalam QS. [24]: 31, yaitu saudara, bapak, anak saudara perempuan, anak saudara laki-laki, orang tua istri dan anaknya. Pendapatnya menyatakan seorang muslimah boleh telanjang bulat didepan lelaki tersebut. Ia mengatakan, “Jika orang tua melihat anak perempuannya telanjang bulat, maka tidak dikatakan bahwa hal itu haram, namun hanya aib saja.”[42] Bahkan Ia mengatakan bahwa hubungan remaja lawan jenis tanpa didasari pernikahan, alias kumpul kebo sebagai sesuatu yang “halal”. Syahrur mengatakan bahwa apa yang dilakukan para remaja itu, jika hal itu sesuai dengan kemauan mereka, tanpa akad, atau tanpa didampingi seorang syekh atau tanpa mendapat izin, maka hal itu halal. Ia menyatakan, “Bacalah Kitabullah, jangan takut kepadanya, kamu semua bisa melakukan itu tanpa perantara dan tanpa guru, dan pergaulan bebas halal, dengan syarat ada persetujuan diantara kedua pihak,” ujarnya. Ia juga menyatakan, bahwa pergaulan bebas antara seorang laki-laki dan seorang perempuan adalah ganti atas pernikahan, dan tanpa akad tertulis, adalah “halal, secara syar’i.”[43]

Banyak hal yang dapat kita kritisi dari kasus ini. Pertama, aurat yang diartikannya sebagai sesuatu yang malu apabila terlihat dan tidak ada hubungannya dengan halal haram, menunjukan keterpaksaan pendefinisiannya yang mengalah kepada kenyataan, dimana orang-orang disekitarnya yang sudah biasa dengan budaya telanjang. Hal ini tidak berdasar karena kalau malu yang jadi ukurannya, totalitas relatifitas penafsiran tidak ada batasannya. Bahkan telanjang bulat sekalipun, jika itu sudah biasa (mungkin itu sudah terjadi hari ini), tidak disebut sebagai aurat karena mereka sudah tidak malu lagi untuk bertelanjang bulat. Bahkan dalam hal ini, Syahrur tidak konsisten dengan teori batasnya karena ia melanggar batasan aurat minimal yang jelas pada batas kemaluan, pantat, belahan dada, dan ketiak. Dimana malu sebagai pertimbangan bersifat relatif tak berbatas. Keterangan batasan aurat dalam hadits pun telah jelas. Al-Qurthubi berkata: Pengecualian itu adalah pada wajah dan telapak tangan. Yang menunjukkan hal itu adalah apa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah bahwa Asma binti Abu Bakr menemui Rasulullah sedangkan ia memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah berpaling darinya dan berkata kepadanya: “Wahai Asma! Sesungguhnya jika seorang wanita itu telah mencapai masa haid, tidak baik jika ada bagian tubuhnya yang terlihat, kecuali ini.” Kemudian beliau menunjuk wajah dan telapak tangannya. Allah Pemberi Taufik dan tidak ada Rabb selain-Nya.”

Kedua, menurut Syahrur QS. [24]: 31 tentang aurat perempuan dengan menafsirkan juyūb yang terdiri dari kemaluan, pantat, ketiak, dan payudara merupakan argumentasi tidak logis, karena secara historis (teori yang diklaim digunakannya) saja, wanita zaman jahiliyyah telah menutup badan dengan bajunya. Maka tidak masuk akal, kalau ayat ini turun kepada wanita arab untuk keluar ke jalan-jalan dengan menutup auratnya, minimal dengan pakaian dalam saja. Ketiga, seandainya beralasan menutup badan sesuai dengan cuaca dan gangguan, maka kalau cuaca Madinah panas maka perempuannya menutup badan penuh. Justru kalau panas, seharusnya perempuan Madinah memakai pakaian mini, sebagaimana Barat yang dalam kondisi panas, mereka sering setengah telanjang, apalagi di pantai. Gangguan terhadap wanita pun akan rentan jika ia berbusana minim, karena itulah fitnahnya, bukan pada budayanya saja.

Keempat, kesalahan Syahrur dalam mengartikan al-juyūb berasal dari kata jawaba atau a’in fiilnya adalah huruf wawu. Lalu mengambil arti lubang (al-kharqu) dari kata al-jūb, namun ia menisbahkannya sebagai arti dari al-jaib, sehingga lubang al-jaib berarti lubang kemaluan perempuan. Padahal al-juyūb berasal dari kata jayaba atau a’in fiilnya ya, maka kamus arab mengantisipasinya dengan menambahkan bahwa kalimat jabat al-qamis tidak berasal dari al-jaib, tapi dari al-jub. Dapat kita temukan bahwa al-juyūb secara bahasa berarti bagian baju yang terbuka dan saku-saku baju.[44]

Kemudian ketika Syahrur menafsirkan ayat, “Janganlah mereka memperlihatkan perhiasannya, kecuali yang biasa nampak daripadanya”. Bahwa perhiasan wanita ada dua, yakni perhiasan benda seperti pakaian dan aksesorisnya dan perhiasan tempat adalah seluruh tubuh perempuan yang lazim terlihat seperti perut, punggung, kepala, dan kaki. Sedang yang tersembunyi adalah al-juyūb (kemaluan, pantat, ketiak, dan payudara). Padahal pada masa jahiliyyah, perhiasan perempuan ada yang nampak dan tersembunyi. Yang nampak seperti cincin, gelang, kalung, anting, dan hiasan kepala. Sedang yang tersembunyi seperti gelang tangan dan kaki. Maka ayat tadi diperkuat dengan lanjutan, “Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan.”[45]

Kelima, pendefinisian aurat dengan rasa malu adalah pendapat keliru. Menurut Yusuf Qaradhawi, di kalangan ulama sudah ada kesepakatan tentang masalah ‘aurat wanita yang boleh ditampakkan’. Ketika membahas makna “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa yang biasa tampak daripadanya” (QS 24:31), menurut Qaradhawi, para ulama sudah sepakat bahwa yang dimaksudkan itu adalah “muka” dan “telapak tangan”. Imam Nawawi dalam al-Majmu’, menyatakan, bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya. Diantara ulama mazhab Syafi’i ada yang berpendapat, telapak kaki bukan aurat. Imam Ahmad menyatakan, aurat wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajahnya saja. Diantara ulama mazhab Maliki ada yang berpendapat, bahwa wanita cantik wajib menutup wajahnya, sedangkan yang tidak cantik hanya mustahab. Qaradhawi menyatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan adalah pendapat Jamaah sahabat dan tabi’in sebagaimana yang tampak jelas pada penafsiran mereka terhadap ayat: “apa yang biasa tampak daripadanya.”[46]

Apalagi kekacauan pseudo ijtihadnya tentang kumpul kebo yang dilegalkannya, menjelaskan bagaimana kepicikan berpikir Syahrur yang sangat lemah menggunakan akal sehatnya dengan pasrah begitu saja pada kenyataan dan realitas pergaulan bebas dan perselingkuhan, khususnya yang terjadi di Barat. Hal ini menjadi pemikiran Syahrur yang sangat aneh dicerna, karena disatu sisi dia begitu kelihatan ilmiah dan bergairah ketika membahas ayat poligami, disisi lain dia menegasikan sakralitas pernikahan dengan melegalkan perzinahan lewat kumpul kebo. Berulang kali juga dia melanggar teori batasnya, dimana pada bentuk kelima dikatakan batas bawah dan atas sekaligus, tetapi keduanya tidak boleh disentuh, jika menyentuhnya berarti telah melanggar aturan Tuhan. Bentuk ini berlaku pada hubungan laki-laki dan perempuan. Jika antara laki-laki dan perempuan melakukan perbuatan mendekati zina tetapi belum berzina, maka keduanya belum terjatuh pada batas-batas hudud Allah. Tetapi dengan statemen kumpul kebo dibolehkan sebagai ganti pernikahan, dia sendiri telah melanggar konsepnya tentang pergaulan bebas yang berujung perzinaan.

F. Penutup

Pendekatan bahasa yang dilakukan Syahrur dalam mengkaji al-Qur’an akhirnya membuat dia menarik suatu kesimpulan bahwa produk hukumnya sangat tergantung pada konteks sosio-kultural. Syahrur menganggap perlu adanya reinterpretasi terhadap nash-nash al-Qur’an dengan harapan terjadi sinkronisasi nash dengan realitas masyarakat kapanpun dan dimanapun. Fokus Syahrur terhadap nash-nash al-Qur’an membuat dia tidak mempercayai al-Sunnah al-Nabawiyyah sebagai sumber hukum juga. Baginya, al-Qur’an sudah cukup karena ayat-ayatnya telah memuat aturan-aturan untuk menjawab realita kehidupan. Untuk merealisasikan idenya itu Syahrur mengkonsep Teori Limit (Nazoriyyat al-Hudud).

Dengan Teori Limitnya ini, Syahrur mencoba menerapkan nash-nash muhkamat al-Qur’an ke dalam realita kehidupan dengan batasan-batasannya. Hukum-hukum di dalam al-Qur’an menurutnya bersifat elastis yang bisa ditarik dan disesuaikan dengan konteks tempat dan zaman. Kondisi masyarakat berada pada ruang lingkup batasan tersebut, dan selama tidak melewati batasan yang telah ditetapkan, hukumnya boleh untuk dilakukan.

Tapi kenyataannya Syahrur banyak terjebak pada kesalahan fatal dalam aplikasi teori batasnya. Kecintaannya pada filsafat Marxisme dan pemaksaannya dalam menggunakan hermeneutika filologi menggiringnya kepada konsep-konsep dan produk hukum al-Qur’an yang di mata pemakalah terasa nyeleneh. Ini bisa dilihat dari pemaparannya tentang hukum ayat-ayat hijab dan hubungan laki-laki dengan perempuan sebaimana diterangkan di atas. Wallahu a’lam bi al-showab

G. Daftar Pustaka

Abdullah, Amin, Neo Ushul Fiqih Menuju Ijtihad Kontekstual, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Press dan Forum Studi Hukum Islam, 2004).

al-Munajjad, Mahir., Munāqasyat al-Isykāliyyah al-Manhajiyyah fi al-Kitāb wa al-Qur’ān: Dirāsah Naqdiyyah, terjemah Burhanudin Dzikri, Membongkar Ideologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008).

Clark, Peter., “The Shahrorur’s Phenomenon; A Liberal Islamic Voice From Syiria”, Islam and Christian-Muslim Relation, Vol. VII, No. 3, Oktober, 1996, hlm. 339.

Mubarok, Ahmad Zaki., Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Quran Kontemporer “ala” M. Syahrur, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2007).

Qaradhawi, Yusuf., Fatwa-Fatwa Kontemporer, Terj. Oleh Drs. As’ad Yasin, (Jakarta: GIP, 1995).

Syahrur, Muhammad, Dirāsah Islamiyyah: Nahw Ushūl Jadīdah Li al-Fiqh al-Islamī, terjemah Sahiron Syamsuddin, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta: eLSAQ Press: 2008).

__________________, Al-Kitab wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, (Damaskus: Dar al-Ahali, 1990).

__________________, Nahwa Ushul Jadidah, (Damaskus: Al-Ahali, 2000)

A. Luthfi Assyaukanie, Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer, dipublikasikan di http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Arab2.html

www.hidayatullah.com, publikasi 29 Januari 2008

http://www.shahrour.org.

 


[1] A. Luthfi Assyaukanie, Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer, dipublikasikan di http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Arab2.html

[2] Ahmad Zaki Mubarok, Pendekatan Strukturalisme Linguistik dalam Tafsir al-Quran Kontemporer “ala” M. Syahrur, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2007), hlm. 137.

[3] Untuk penjelasan lebih lengkap mengenai biographi Muhammad Syahrûr dapat dirujuk langsung ke website resmi Syahrur yaitu: http://www.shahrour.org.

[4] Peter Clark, “The Shahrorur’s Phenomenon; A Liberal Islamic Voice From Syiria”, Islam and Christian-Muslim Relation, Vol. VII, No. 3, Oktober, 1996, hlm. 339.

[5] Andreas Chrismann, “Bentuk Teks (Wahyu) Tetap, Tetapi Kandungannya (Selalu) Berubah: Tekstualitas dan Penafsirannya Dalam al-Kitab wa al-Qur’an” dalam Pengantar Muhammad Syahrur, Dirasah Islamiyyah: Nahw Ushul Jadidah Li al-Fiqh al-Islami, terjemah Sahiron Syamsuddin, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008), hlm. 19. Selanjutnya disingkat dengan Bentuk Teks.

[6] M. In’am Esha, “Muhammad Syahrur: Teori Batas” dalam Khudori Soleh dkk, Pemikiran Islam Kontemporer,(Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 296.

[7] Amin Abdullah, Neo Ushul Fiqih Menuju Ijtihad Kontekstual, (Yogyakarta: Fakultas Syari’ah Press dan Forum Studi Hukum Islam, 2004), hlm. 150

[8] Lihat Muhammad Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, (Damaskus: Dar al-Ahali, 1990), hlm. 54, 90, dan 103

[9]Andreas Chrismann, Bentuk Teks.., Op. Cit, hlm. 30

[10] Muhammad Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah, (Damaskus: Al-Ahali, 2000), hlm. 27

[11] Ibid, hlm. 30

[12]Lihat karyanya seperti: Muhammad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah (Kairo dan Damaskus: Sina lil al- Nasr, 1992), hlm. 44, 47 dalam Wael B. Hallaq Membaca Teori Batas M. Shahrur dalam M. Shahrur, al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’ashirah, terjemah Sahiron Syamsuddin Prinsip Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, (Jogyakarta: 2007, hal. 3

[13] Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih, Op. Cit, hlm. 97.

[14] Ibid, hlm. 104.

[15] Ibid, hlm. 106.

[16] Ibid, hlm. 105.

[17] Muhammad Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah, Op. Cit., hlm. 54

[18] Situs berita Al-arabiya, dikutip dari Thoriq, www.hidayatullah.com, publikasi 29 Januari 2008

[19] Ibid

[20]Muhammad Syahrur, Metodologi Fiqih.., Op. Cit, hlm. 106-107

[21] Amin Abdullah, Neo Ushul Fiqih.., Op. Cit, hlm. 156-158

[22]Muhammad Syahrur, Nahwa Ushul Jadidah, Op. Cit., hlm. 370.

[23] Ibid, hlm. 372-373.

[24] Ibid, 376-378 dan al-Kitāb wa al-Qur’ān, hlm. 607.

[25]Muhammad Shahrur, al-Kitāb wa al-Qur’ān, Ibid, hlm. 606.

[26] Ibid, hlm. 607.

[27] al-Arabiya, Dikutip dari http://www.Hidayatullah.com publikasi Selasa, 29 Januari 2008.

[28] Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik[414], atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,

[29] (Allah menolong kamu dalam perang Badar dan memberi bala bantuan itu) untuk membinasakan segolongan orang-orang yang kafir, atau untuk menjadikan mereka hina, lalu mereka kembali dengan tiada memperoleh apa-apa.

[30] Dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedang kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk membenarkan yang benar dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir.

[31] (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.

[32] Andreas Chrismann, Bentuk Teks.., Op. Cit, hlm. 307.

[33] Ibid, hlm. 305.

[34] Maksud zina di sini adalah masuknya kelamin laki-laki ke dalam kelamin wanita. Jika kelamin belum masuk maka tidak disebut zina.

[35] Syahrur, al-Kitab wa al-Qur’an, Op. Cit, hlm. 469-470.

[36] Ibid. Agaknya Syahrur tidak menganggap sistem bagi hasil (profit and loss sharing) sebagai prinsip dasar bank Islam sebagaimana diyakini oleh para ekonom muslim untuk pengganti sistem bunga. Karena ia menganggap sah bank Islam yang mendasarkan pada sistem bunga kendati dengan batasan tertentu.

[37] Lihat QS. [2]: 135, [3]: 67, 95, [4]: 125, [6]: 79, 161, [10]: 105, [16]: 120, 123 dan Kamus Bahasa Arab Täjul Urüs, Lisan Arab, al-Muhith, Maqayis al-Lughah untuk materi hanafa.

[38] Muhamad Syahrur, Nahwa.., Op. Cit, hlm. 370.

[39] Ibid, hlm. 372-373.

[40] Ibid, 376-378 dan al-Kitāb wa al-Qur’ān, hlm. 607.

[41] Muhamad Shahrur, al-Kitāb wa al-Qur’ān, Ibid, hlm. 606.

[42] Ibid, hlm. 607.

[43] al-Arabiya, Dikutip dari http://www.hidayatullah.com publikasi Selasa, 29 Januari 2008.

[44] Kamus Bahasa Arab, Täjul Urüs, Lisan Arab, al-Muhith, untuk materi jayaba.

[45] Mahir al-Munajjad, Munāqasyat al-Isykāliyyah al-Manhajiyyah fi al-Kitāb wa al-Qur’ān: Dirāsah Naqdiyyah, terjemah Burhanudin Dzikri, Membongkar Ideologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer, (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2008), hlm. 142.

[46] Dikutip dari Yusuf Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Terj. Oleh Drs. As’ad Yasin, (Jakarta: GIP, 1995), hlm. 431-436.


Tinggalkan komentar